"Hey pangeran!" seseorang menepuk pundakku. Ah, lagi-lagi disebut pangeran...
"Ngapain bengong sore-sore begini di bawah pohon?" tanyaya. Ternyata si Rio. Berdiri di depanku dengan gayanya yang khas. Ketika kulihat ke bawah, seperti biasa tali sepatunya masih terburai dan bagian belakangnya dia injak. Ketika dia akan duduk di sebelahku, segera kuteringat sesuatu.
"Hey awas...!" kudorong badannya yang hampir menduduki kotak coklatku. Ketika kuambil kotak coklat itu, tanganku merasakan sensasi aneh saat menyentuhnya. Suatu sensasi seperti sedih, barangkali mendekati patah hati. Ya, barangkali begitu. Kubawa kotak coklat itu ke atas tas ransel di pangkuanku.
"Eh sorry... Itu... coklat yang kemarin ya..." katanya pelan sambil menunduk membetulkan tali sepatunya.
"Begitulah," jawabku. Jemari tanganku memutar-mutar kotak 20 x 20 senti itu.
"Hahah... Pangeran cinta bisa juga bertampang sedih begini. Kena karma kau...!" katanya lagi.
Sial... gerutuku dalam hati.
"Lagipula kau pilih Nurani sih. Heheheh..."
"Hhh... Apa sih yang bikin kau begitu senang melihat aku seperti ini Yo?" tanyaku. Kesal.
"Bukannya aku senang. Tapi kau memang jadi lucu," katanya sambil tetap tersenyum. Aku memalingkan wajahku darinya dan kembali menatap daun-daun.
"Sudahlah. Terserah kau mau meneruskan perjuanganmu ini, atau berganti strategi, atau mau menyerah dan berhenti. Saranku, kau jangan terlalu percaya diri."
"Maksudmu?" tanyaku.
"Menurutku ini cukup sulit. Pertama, ada persahabatan dua gadis yang kau usik dalam urusan ini. Kedua, ini adalah tentang Nurani. Ketiga, ini tentang kau sendiri. Satu hal yang aku kagum darimu adalah sifatmu yang tak mudah menyerah. Sedangkan yang aku herankan adalah sifatmu yang juga tidak mau introspeksi diri. Yaa... baiknya kau renungkanlah. Mengapa sudah sampai empat bulan ini tak ada hasil apapun yang kau dapat" katanya. Panjang lebar anak ini menasehati aku. Meski di kelas tiga ini kita tak lagi sekelas, tak kusangka dia tetap memperhatikan aku sebagai sahabatnya.
"Terus coklat itu mau kau apakan?" tanyanya.
"Entahlah."
"Kau makan saja sendiri," katanya lagi.
"Hahaha... tak mungkinlah. Bisa-bisa coklat ini terasa pahit semua kalau kumakan di saat-saat seperti ini," kataku.
"Haha, kukira buat pangeran cinta sepertimu, tahi ayampun kalau dimakan bisa semanis coklat," Rio ikut tertawa.
"Sial! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi, hahaha..." akupun tertawa bersamanya.
Ketika tawa kami reda, aku berkata, "Aku kan tidak boleh makan coklat Yo..."
Rio berhenti tertawa. "Oh iya aku lupa," katanya.
"Lantas apa mau kau berikan pada Maya seperti kata Nurani?" dia bertanya sambil tersenyum jahil.
"Apa maksudmu? Kau tadi di sini waktu Nurani mengembalikan coklat ini?"
"Hahaha... iya aku mengintip dari jauh, hahaha...'mengapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu...'"
"Dasar dodol kau," aku bersiap menjitak kepalanya, Rio segera menghindar. Enak saja dia melihat aku dalam keadaan salah tingkah seperti tadi.
"Tadi waktu bersiap shalat ashar, air di tempat wudhu mushala tak mengalir, jadi aku wudhu di keran taman di sana. Tak sengaja lah aku diam dulu perhatikan kalian di sini. 'Ooooo.... You know me so well...'"
"Berisik kau...!" umpatku.
"Hehehe,,, santai lah pangeran... Eh ngomong-ngomong sudah shalat ashar belum kau? Sudah setengah lima ini," katanya.
"Hm... belum. Biar shalat di rumah sajalah. sekarang aku mau pulang,"
"Shalatlah di sini, kalau di rumah bisa jam setengah enam baru kau sampai,"
"Ga apa-apa deh,"
"Nah, pangeran cinta macam begini mau dapat gadis seperti Nurani, mana bisa..."
"Iya iya aku shalat sekarang. Sudah sana kau pulang"
"Nah, shalatlah yang khusyuk, tapi jangan karena Nurani ya, heheh..."
"Iya, aku mengerti," kataku sambil berjalan menuju mushala sekolah. Kotak coklat berpita biru muda sudah berada di dalam tasku, menunggu nasibnya setelah ini.
Mungkin Rio benar. Apa lelaki seperti aku bisa mendapatkan gadis seperti Nurani. Kalaupun seandainya aku memperbaiki diri, akankah Tuhan melihat perubahan baikku itu sebagai niat yang tulus? Tidakkah Tuhan akan marah padaku kalau aku berubah karena seorang gadis yang kusukai...?
Ah aku bingung. Langit menggelap di atasku. Sebaiknya aku segera shalat.
Di bawah pohon beringin, Rio menatap punggung sahabatnya sejak kelas satu dan dua SMA itu menuju mushola. Ketika akan beranjak pulang, kakinya menginjak selembar kertas dengan tulisan miring ke kanan khas tulisan sahabatnya. Ia tersenyum membacanya. Sebuah puisi.
Rio melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya kemudian beranjak pulang. Angin kembali bertiup menggugurkan daun-daun.