Nurani tergesa-gesa memburu gerbang sekolahnya. Di tengah perjalanannya menuju jalan raya untuk mencegat angkot, pada wajahnya yang menunduk sepanjang jalan, bukan hanya ujung sepatunya yang telah sedikit sobek yang tampak di matanya. Bukan pula hanya permukaan jalan berkerikil yang ia pijak di setiap langkah, tetapi juga wajah itu menampakkan dirinya lagi.
Tergambar pula kejadian kemarin pagi saat hendak memasuki kelas. Seorang anak lelaki dari tiga kelas di sebelah kelasnya, berdiri menyodorkan sebuah kotak bening berpita biru muda. Di dalamnya berjejer coklat-coklat mungil yang tampak sangat lezat. "Nur... Nurani! Se... selamat ulang tahun!," katanya hampir berteriak. Cukup keras untuk terdengar oleh seluruh teman-teman satu kelasnya yang sebagian besar sudah duduk di bangku masing-masing.
Seiring koor "Ciyeeeeee........." yang riuh dari dalam kelas, memerahlah wajah Nurani karenanya. Saat itu pula Nurani tanpa sengaja menatap wajah anak lelaki itu dengan maksud meminta penjelasan. Namun yang ia lihat adalah wajah yang tersenyum kikuk dengan rona yang tak kalah memerah jambu. Wajah yang selama ini selalu ia hindari untuk menatapnya meski hanya sekilas, ternyata cukup menarik...
Di tengah situasi yang membingungkan itu, di tengah bel tanda masuk kelas yang mengalun keras, Rio, ketua kelas Nurani entah bagaimana berinisiatif mengambil kotak coklat dari tangan anak lelaki itu.
"Terimakasih ya pangeran tampan, putri Nurani dengan senang hati menerima hadiahnya. Biar saya ajudannya yang mengambilkan ya, soalnya bel masuk sudah berbunyi..." katanya sambil cengengesan. Kotak coklat itu ia serahkan pada Rio dan anak lelaki itu garuk-garuk kepalanya sambil membalikkan badan menuju kelasnya. Dengan senyum kikuknya ia melambaikan tangan pada Nurani. Segera saja hampir seluruh teman sekelasnya membalas melambaikan tangan dan bersamaan berkata, "Bye bye pangeran...."
Dan Nurani yang masih mematung di depan pintu segera ditarik oleh seoran teman perempuannya hingga ke tempat duduk. Masih nampak kaget, Nurani duduk di bangkunya. Tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Rio saat menaruh kotak coklat itu di hadapannya. Tak juga terdengar jelas sambutan tawa seluruh teman sekelas karena keusilan tingkah Rio barusan. Suasana seperti itu tetap bertahan beberapa menit hingga guru yang mengajar di jam pertama telah datang. Senyuman teman-teman sekelasnya dan bisikan "Deu...." atau "Ciyeee..." atau "Ekhem Nurani, ekhem..." dari beberapa temannya masih ia dengar hingga sepanjang hari itu di sekolah. Kotak coklat itu tersimpan di laci meja Nurani hingga terpaksa ia membawanya pulang dan memutuskan untuk mengembalikannya.
Oh sungguh mengesalkan. Rasanya ingin segera sampai di rumah sekarang juga. Tak ingin melewatkan perjalanan selama setengah jam ini dengan perasaan tak karuan. Tak ingin nanti di angkot terpikir tentang peristiwa kemarin, ataupun yang baru saja terjadi. Tak ingin nanti terbayang wajah orang itu yang bisa membuat pipinya merona.
Akhirnya Nurani tiba di tepi jalan raya. Sebuah angkot berwarna hijau berhenti di depannya dan ia segera naik.
Satu hal lagi yang membuatnya semakin tak karuan adalah Maya. Sahabatnya yang sejak dua bulan yang lalu, hingga awal tahun ajaran baru ini duduk terpisah dengannya jauh di bangku jajaran belakang. Nurani yakin, Maya menyaksikan seluruh peristiwa kemarin dengan jelas. Nurani tahu, tentu Maya tak ambil bagian untuk mengucapkan kata-kata seperti "Bye bye pangeran" ataupun yang lainnya. Nurani tahu apa yang mungkin Maya rasakan saat peristiwa itu terjadi, meski seharian kemudian menjadi begitu sulit bagi Nurani untuk memberanikan diri menatap wajah sahabatnya itu. Bukan, bukan karena Maya tidak masuk sekolah pada hari itu. Hanya saja, Nurani tak berani. Sungguh tak berani.
"Maafkan aku Maya..." gumam Nurani yang duduk di tempat favoritnya di kursi paling belakang. Sambil bersandar di kaca angkot dan memandang ke luar jendela, bergantian muncul bayangan senyum kikuk dari wajah anak lelaki itu, dan wajah dingin Maya yang telah sebulan ini mengusik perasaannya.
Angkot pun meluncur perlahan. Hembusan roda-rodanya menerbangkan hingga beberapa senti serasah yang berserakan. Angin bertiup dan pohon-pohon di sepanjang jalan itu kembali menggugurkan daun-daun tua. Adzan ashar berkumandang.
Beberapa puluh meter dari sana, seorang anak lelaki masih duduk di bangku taman sekolah, bersandar pada pohon beringin. Matanya menatap daun-daun yang jatuh. Sebuah kotak berisi coklat tergeletak di bangku sebelahnya. Menemaninya menatap daun-daun.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus